Geografis Kota Tebing Tinggi
Menurut Data Badan Informasi dan Komunikasi Sumatra Utara, Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33 Kabupaten/Kota di Sumatra Utara. Berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan (Ibu kota Provinsi Sumatra Utara) serta terletak pada lintas utama Sumatra yang menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah Sumatra melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematangsiantar, Parapat, Balige dan Siborong-borong.
Iklim
Tebing Tinggi beriklim tropis dataran rendah. Ketinggian 26 – 24 meter di atas permukaan laut dengan topografi mendatar dan bergelombang. Temperatur udara di kota ini cukup panas yaitu berkisar 25° - 27 °C. Sebagaimana kota di Sumatra Utara, curah hujan per tahun rata-rata 1.776 mm/tahun dengan kelembaban udara 80%-90%.
Hidrologi
Di Tebing Tinggi terdapat empat sungai yang mengalir dari barat menuju timur. Keempat sungai tersebut adalah Sungai Padang, Sungai Bahilang, Sungai Kalembah, dan Sungai Sibaran. Daerah sekitar Sungai Padang dan Bahilang merupakan wilayah potensi banjir, yaitu Kelurahan Bandar Utama, Persiakan, Bandar Sono, Mandailing, Bagelan, Rambung, Tambangan, Brohal dan Rantau Laban.
Datuk Bandar Kajum
Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai Bahilang itu mulai dihuni sebagai tempat tinggal sekitar tahun 1864. Inilah pernyataan resmi pertama yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul "Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi". Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca tahun 1864. Dimana dalam tahun berikutnya, berdasarkan penuturan lisan, seorang bangsawan dari wilayah Bandar Simalungun (sekarang masuk wilayah Pagurawan) bernama Datuk Bandar Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari hunian baru, hingga kemudian mendarat dan bermukim di sekitar aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak (sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Rambutan).
Sayangnya, kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena dia terus saja diburu oleh tentara Kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar Kajum memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi. Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama, Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing Tinggi.
Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tetapi karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya, bersama pengikutnya, melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam peperangan itu, ia bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.
Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda, daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah taklukan Kerajaan Deli. Penandatanganan perjanjian itu, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah sampan bernama "Sagur" di sekitar muara sungai Bahilang.
Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan O.K.Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, sebagian besar tokoh ini sudah wafat, sehingga kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu. Salah satu di antara tokoh itu yang masih hidup adalah Mangara Sirait, mantan anggota DPRD Tebing Tinggi, yang kini bermukim di belakang LP Tebing Tinggi. Pertanyaan yang paling mendasar saat ini adalah, apakah nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama "Tebing Tinggi" muncul dalam data sejarah?
Kerajaan PadangJauh sebelum ada kampung Tebing Tinggi, sepanjang aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.
Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom di bawah Kerajaan Deli yang berpusat di Deli Tua, jelas Amiruddin Damanik yang merupakan mantan penghulu pada masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti (sekarang Bandar Sakti, Bajenis, Tebing Tinggi) yang merupakan pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. "Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang," terang laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski fisiknya sudah sepuh.
Pusat administrasi Kerajaan Padang berada di sebuah bangunan bergaya arsitektur Eropa yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di Jalan K.F.Tandean. Bangunan itulah yang menjadi saksi bisu keberadaan Kerajaan Padang. Sedangkan istana raja, lokasinya tidak berapa jauh dari pusat administrasi kerajaan.
“Seingat saya, dulu istana itu masih ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi).
Historis Kerajaan Padang ini,dapat dilacak juga melalui cerita lisan, bermula dari memerintahnya seorang penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada beberapa pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir sebagai bendahara kerajaan.
Kerajaan Negeri Padang Tempo dulu (doc.www.sembilanbelas.id)
Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing. Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tetapi tunduk pada kekuasaan Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai Belanda. Di sebelah selatan, Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis, Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar Khalifah—sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.
Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing, Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya Hindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.
Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang. Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak salah kediaman kapitan Cina iu masih ada di Jalan Iskandar Muda berhadapan dengan bekas bioskop Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu.
Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di Jalan Cemara.
Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung Durian, Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk, Kampung Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya.
Batas Kerajaan Padang
“Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah batas wilayah terjauh Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah menjadi tahanan politik di awal Orde Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe perangan dengan Kerajaan Raya. “Perang itu bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas penutur ini.
Asal terjadinya perang, ujar Amiruddin, bermula dari seringnya muncul gangguan yang kadang-kadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang Kerajaan Raya terhadap masyarakat di sekitar Kampung Bulian. Akibatnya, karena ketakutan, penduduk Kampung Bulian banyak yang mengungsi hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan Padang kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksudnya untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.
Ternyata, dibuatnya jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang, sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan tidak tenteram itu, Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan Panglima Daud untuk mengusir para pengacau itu. Dalam pengusiran itu, Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya, hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di Kampung Bartong. Kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan Padang.
Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan di Bandar Khalifah, Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu, sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir. Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim menamatkan sekolahnya di Batavia.
Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis menjadi taklukan Kolonial Belanda. Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang dari tugas belajar.
Selesai menamatkan sekolah, kedua keturunan raja ini kemudian kembali ke Kerajaan Padang untuk melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk kekuasaan pertama jatuh ke tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah. Baru kemudian diserahkan kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di tangan Tengku Hasyim ini, gejolak menuntut kemerdekaan terhadap Kolonial Belanda menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan batas-batas yang ditentukan administrasi Kolonial Belanda. Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi Kota Tebing Tinggi.
Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut Kampung Tebing Tinggi.
Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi pada masa lalu, setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di atas—meski merupakan data lisan—sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya merupakan wilayah Kerajaan Padang.
Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing Tinggi sebagai ibu kota Kerajaan Padang harus kehilangan puluhan kampung yang dulunya merupakan bagian dari Kota Tebing Tinggi masa lalu itu. Penjajahan Kolonial Belanda telah merugikan Tebing Tinggi dalam soal administrasi kewilayahan. Sudah saatnya memang kita menagih kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang berdasarkan wilayah Kerajaan Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing Tinggi berdasarkan data historis itu.
Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai kota pemerintahan dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi (hinterland). Pada tahun 1904, menjelang persiapan Tebing Tinggi menjadi kota otonom, didirikan sebuah Badan Pemerintahan yang bernama Plaatselijkke Fonds oleh Cultuur Paad Soematera Timoer.
Pada tanggal 23 Juli 1903, pemerintah Hindia Belanda menetapkan daerah Otonom Kota kecil Tebing Tinggi menjadi pemerintahan kota Tebing Tinggi sebagai daerah otonom dengan sistim desentralisasi.
Pada tahun 1910, sebelum di laksanakannya Zelf Bestuur Padang (Kerajaan Padang), maka telah dibuat titik "Pole Gruth" yaitu pusat perkembangan kota sebagai jarak ukur antara Kota Tebing Tinggi dengan kota sekitarnya. Patok Pole Gruth tersebut terletak di tengah-tengah Taman Bunga di lokasi Rumah Sakit Umum Herna. Untuk menunjang jalannya roda pemerintahan maka diadakan kutipan-kutipan berupa Cukai Pekan, Iuran penerangan dan lain-lain yang berjalan dengan baik.
Pada masa Tebing Tinggi menjadi Kota Otonom maka untuk melaksanakan Pemerintahan, selanjutnya dibentuk Badan Gementeraad Tebing Tinggi, yang beranggotakan 9 orang dengan komposisinya 5 orang Bangsa Eropa, 3 orang Bumiputera, dan 1 orang Bangsa Timur Asing. Hal ini didasarkan kepada Akte Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sultan Deli, bahwa dalam lingkungan Zelfbestuur didudukan orang asing Eropa dan yang dipersamakan dan ditambah dengan orang-orang Timur Asing.
Pada masa itu, adanya perbedaan golongan penduduk, menyebabkan adanya perbedaan pengaturan penguasaan tanah. Untuk mengadakan pengutipan-pengutipan yang disebut setoran retribusi dan pajak daerah, diangkatlah pada waktu itu Penghulu Pekan. Tugas Penghulu Pekan ini juga termasuk menyampaikan perintah-perintah atau kewajiban-kewajiban kepada Rakyat kota Tebing Tinggi yang masuk daerah Zelfbestuur.
Dalam perkembangan selanjutnya informasi Kota Tebing Tinggi sebagai kota Otonom dapat kita baca dari tulisan J.J.Mendelaar, dalam “NOTA BERTREFENDE DEGEMENTE TEBING TINGGI” yang dibuatnya sekitar bulan Juli 1930.
Dalam salah satu bab dari tulisan tersebut dinyatakan bahwa setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan Desentralisasi, maka pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Desentralisasiewet berdirilah Gementee Tebing tinggi dengan Stelings Ordanitie Van Statblaad 1917 yang berlaku 1 Juli 1917. Karenanya, tanggal 1 Juli inilah yang menjadi Hari jadi Kota Tebing Tinggi.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, pelaksanaan pemerintah di Tebing Tinggi tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan Kota yang bernama Gementeeraad. Pemerintah Jepang menggantikannya dengan nama Dewan Gementee Tebing Tinggi. Menjelang Proklamasi (masih pada masa Jepang) pemerintahan kota Tebing Tinggi tidak berjalan dengan baik.
Masa Indonesia Merdeka
Pada tanggal 20 Nopember 1945, Dewan kota disusun kembali. Dalam formasi keanggotaannya sudah mengalami kemajuan, yang para anggota Dewan Kota terdiri dari pemuka Masyarakat dan Anggota Komite Nasional Daerah. Dewan Kota ini juga tidak berjalan lama, karena pada tanggal 13 Desember 1945, terjadilah pertempuran dengan Militer Jepeng dan sampai sekarang terkenal dengan Peristiwa Berdarah 13 Desember 1945, yang diperingati setiap tahun.
Pada tanggal 17 Mei 1946, Gubernur Sumatra Utara menerbitkan suatu keputusan No.103 tentang pembentukan Dewan Kota Tebing Tinggi, yang selanjutnya disempurnakan kembali dengan nama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, walaupun pada waktu itu ketua Dewan dirangkap Bupati Deli Serdang.
Ketika Agresi pertama Belanda yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947, Dewan Kota Tebing Tinggi dibekukan, demikian pula keadaan pada waktu berdirinya Negara Sumatra Timur, Kota Tebing Tinggi tidak mempunyai Dewan Kota untuk melaksanakan tugas pemerintahan.
Pada masa RIS, Dewan kota diadakan berdasarkan peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950. Tetapi dalam proses pelaksanaannya, panitia pemilihan belum sempat menjalankan tugasnya, Peraturan Pemerintah No. 39 tersebut telah dibatalkan.
Menurut undang-undang No.1 tahun 1957, pemerintah di daerah ini menganut azas Otonomi daerah yang seluasnya. Walaupun dalam undang-undang tersebut ditetapkan bahwa daerah ini berhak mempunyai DPRD yang diambil dari hasil Pemilihan Umum 1955, tetapi berdasarkan undang-undang darurat 1956 DPRD PERALIHAN kota Tebing Tinggi hanya mempunyai 10 (Sepuluh) orang anggota.
Setelah keluarnya Undang-Undang No. 5 tahun 1974, tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pelaksanaan pemerintahan di Kota Tebing Tinggi sudah relatif lebih baik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Tetapi, walaupun sudah memiliki perangkat yang cukup baik, namun karena terbatasnya kemampuan daerah dalam mendukung pengadaan dalam berbagai fasilitas yang di butuhkan, roda pemerintahan di daerah ternyata masih banyak mengalami hambatan.
Pada tahun 1980 Presiden Republik Indonesia telah mengganugerakan tanda kehormatan "PARASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA" kepada Kotamadya Dati II Tebing Tinggi sebagai penghargaan tertinggi atas hasil kerjanya dalam melaksanakan pembangunan Lima Tahun Kedua, sehingga dinilai telah memberikan kemampuan bagi pembangunan, demi kemajuan Negara Indonesia pada umumnya daerah khususnya.
Gereja Katolik Masuk ke Tebing Tinggi
Menurut penuturan orang-orang tua yang sudah lama tinggal di Tebingtinggi, bahwa di Tebingtinggi telah lama masuk agama Katolik yakni sebelum masuknya Jepang ke Indonesia. Mereka yang beragama Katolik tinggal di perkebunan-perkebunan sekitar Tebingtinggi yakni orang-orang Belanda., sementara orang pribumi waktu itu belum ada yang beragama Katolik di Tebingtinggi. Karena iman mereka yang kuat maka didirikanlah gereja kecil atau Kapel di Jalan Asrama No. 13 sekarang jalan Pahlawan No. 13 tepatnya di depan kantor Polisi yang sekarang. Merupakan suatu bukti nyata bahwa gereja lama ada prasasti diresmikan tanggal 2 Maret 1941 oleh Pastor D. Sinnema OFM Cap. Sayangnya data lengkap mulai adanya gereja Katolik atau Kapel di Tebingtinggi sampai menjadi Paroki tidak dapat ditemukan. Melihat Tebingtinggi dikelilingi perkebunan-perkebunan yang dikelola orang-orang Belanda, maka dapat dipercayai bahwa Kapel itu didirikan oleh orang-orang Belanda.
Perkembangan Paroki St. Joseph Tebingtinggi (1 Juli 1951-sampai sekarang)
Sejak Belanda mengakui Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, suhu politik lambat laun semakin baik. Oleh karena itu, Tebing Tinggi mulai dimasuki orang-orang pribumi yang beragama Katolik untuk mengadu nasib sebagai pedagang. Mereka datang dari Tapanuli Utara atau Pulau Samosir. Melihat banyaknya orang-orang pribumi yang beragama Katolik, maka kebutuhan untuk melakukan peribadatan juga perlu diperhatikan. Sehingga, gereja kecil atau kapel Tebing Tinggi diresmikan menjadi Paroki Santo Joseph Tebing Tinggi sejak tanggal 1 Juli 1951 yang digembalakan oleh Pastor Justus Weetman dan Pastor Elpidius Duynhovan. Umat di Tebing Tinggi Kota semakin bertambah, di mana para pedagang tadi telah merasa aman tinggal di Tebing Tinggi, sehingga mereka menjemput keluarganya serta anak-anaknya datang ke Tebing Tinggi. Perkembangan umat di Tebing Tinggi juga ditandai dengan adanya penempatan menjadi Pegawai Negeri. Sementara di luar kota Tebing Tinggi, umumnya perpindahan dari daerah asal Tapanuli Utara, mengadu nasib dengan bertani dan beberapa yang menjadi pedagang. Setelah mereka berhasil menjemput keluarganya ke kampung asalnya, mereka membuka lahan baru dengan istilah “Manombang” di Kecamatan Bandar Khalipah, Pagurawan, Bamban, dan lain-lain. Pada umumnya, mereka membuka gereja baru dengan darurat atau di rumah-rumah penduduk dan mereka melaporkannya ke Paroki. Perkembangan membuka gereja darurat ini terjadi setelah pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga banyak orang Katolik pindah dari Tapanuli Utara/Samosir ke Sumatera bagian timur. Hal ini mengakibatkan stasi-stasi di Paroki Tebing Tinggi menjadi bertambah. Stasi-stasi ini dikunjungi Pastor dengan kendaraan roda dua atau sebagian harus ditempuh dengan berjalan kaki karena jalan yang belum memadai.
Gereja induk sebagai Paroki di Tebing Tinggi mulai penuh dan tidak dapat menampung umat yang terus bertambah jumlahnya. Maka pada tahun 1958, gereja direnovasi dengan ditambah ke belakang dan sayap kiri-kanan, sementara aslinya tetap dan tidak dibongkar. Perkembangan umat di paroki induk pun terus bertambah pesat, dikarenakan banyaknya Pegawai Negeri yang bekerja di Tebing Tinggi dan para pedagang pun semakin bertambah. Selain itu, adanya pendidikan Perguruan Cinta Kasih Tebing Tinggi juga termasuk salah satu faktor bertambahnya umat Katolik di Tebing Tinggi. Dengan banyaknya jumlah umat di paroki induk, maka misa di paroki dilakukan sebanyak dua kali setiap minggunya. Walaupun demikian, Misa yang dilakukan dua kali setiap minggu, belum dapat menampung seluruh umat. Sementara, tenaga imam pun jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, pada tahun 1983, dibentuklah panitia Pembangunan Gereja dan Wisma Paroki Tebing Tinggi. Pembangunan Gereja dan Wisma dimulai tahun 1985. Gereja baru didirikan di tempat yang sama dan gereja lama dibongkar, sehingga perayaan misa selama pembangunan gereja, dilakukan di ruangan SMA Katolik Cinta Kasih Tebing Tinggi. Gereja baru dan Wisma diresmikan dan diberkati oleh Yang Mulia Uskup Agung Medan, Mgr. A. G. Pius Datubara OFMCap. pada tanggal 21 Juni 1987.
Setelah gereja baru selesai, umat pun sudah dapat duduk dengan tenang pada saat perayaan Misa dan kegiatan-kegiatan gereja pun dapat dilaksanakan di Wisma. Akan tetapi, akhir-akhir ini gereja pun tidak dapat menampung umat yang terus bertambah, terlebih ketika perayaan Misa di hari Minggu dan hari-hari besar umat Katolik.
Pada tanggal 7 Oktober 2001 penggembalaan umat Paroki St. Joseph Tebing Tinggi diserahkan Ordo Kapusin (OFMCap) kepada Ordo salib suci (OSC). Begitulah di Paroki St. Joseph Tebing Tinggi firman Tuhan ditanamkan dan disirami oleh Saudara-saudara Dina Kapusin selama lebih dari 60 tahun, awalnya dilayani oleh Paroki Katedral Medan, lalu Paroki Jl Sibolga Pematang Siantar lalu menjadi paroki mandiri pada tahun 1951.
Perkembangan jumlah umat semakin meningkat dari tahun ke tahun di mana jumlah umat Katolik Paroki St. Joseph Tebing Tinggi pada tanggal 31 Januari 2018, berjumlah 11.690 jiwa yang terbagi dalam 2.790 keluarga dan 52 stasi.
Serah Terima Penggembalaan 3 Stasi Paroki St. Joseph Tebing Tinggi (St. Petrus Bandar Hanopan, St. Benedictus Bangun Raya, St. Antonius Sorba Dolok) kepada Paroki St. Stefanus Martir Pematang Raya pada hari Rabu, 31 Januari 2018 yang diawali dengan Misa Ekaristi di Gereja St. Benedictus Bangun Raya oleh Pastor Donatus Manalu OSC (Pastor Paroki St. Joseph Tebing Tinggi) dan Pastor Giovanno Sinaga, OFMCap (Pastor Paroki St. Stefanus Martir Pematang Raya). Serah Terima Penggembalaan ini disaksikan oleh umat dan ketua stasi ketiga stasi dan anggota DPP kedua paroki.
Serah terima penggembalaan Rayon St. Yakobus Pakam Raya dengan 8 stasi (Stasi Pakam raya, Stasi Sei Deras, Stasi Simodong, Stasi Laut Tador, Stasi Batu Tohap, Stasi Pematang Jering, stasi Sei Rakyat dan Stasi Kuala Indah) ke Kuasi Paroki St. Petrus Cinta Damai Batu Bara dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2018 bertempat di Kuasi Paroki St. Petrus Cinta Damai Batu Bara. Diawali dengan Misa Ekaristi oleh Pastor Donatus Manalu OSC (Pastor Paroki St. Joseph Tebing Tinggi) dan Pastor Mathias Simarmata, OFMCarm (Pastor Paroki Kristus Raja Perdagangan). Serah Terima Penggembalaan ini disaksikan oleh umat dan ketua stasi ketiga stasi dan anggota DPP kedua paroki.
Kemudian pada tanggal 1 September 2019, sebagaimana telah dicanangkan Bapa Uskup Agung Medan Mgr. Anicetus B. Sinaga OFMCap, bahwa di Sei Rampah harus berdiri paroki. Maka, setelah perjuangan yang cukup melelahkan, diresmikan Pastoran Gereja Paroki St. Agustinus Sei Rampah oleh Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap. Terdapat 18 Stasi yang menjadi bagian penggembalaan umat Kuasi Paroki St. Agustinus Sei Rampah, yaitu Stasi Sei Baru Dua, Stasi Sialang Buah, Stasi Belidaan, Stasi Sei Rampah, Stasi Kampung Pon, Stasi Kelapa Tinggi, Stasi Potean, Stasi Sei Buluh, Stasi Pardomuan Avros, Stasi Sei Martebing, Stasi Sei Putih, Stasi Gempolan, Stasi Bedagai, Stasi Pematang Terang, Stasi Pematang Senter, Stasi Penampungan, Stasi Sei Serimah dan Stasi Pematang Buluh
Saat tulisan ini diupdate, Paroki St. Joseph Tebing Tinggi terdiri dari 4 Rayon Kota Tebing Tinggi dan 5 Rayon diluar kota Tebing Tinggi.
Sosial Budaya dan Ekonomi
Suku Batak Toba merupakan suku terbesar di antara umat Paroki Tebingtinggi, selain itu dijumpai juga suku simalungun, Karo, Cina, Jawa, Nias. Dan suku lainnya. Umumnya di Paroki ini 3 bahasa di dalam liturgy umat yaitu Bahasa Batak Toba yang dominant, Bahasa Simalungun di beberapa stasi, dan Bahasa Indonesia di Kota Tebingtinggi. Jika ada pesta Paroki yang bersifat gerejani, kebudayaan batak tobalah yang dominant mewarnainya. Terutama mengenai pakaian liturgy yang diwarnai oleh budaya ini. Tetapi tidak berarti budaya lain tidak diberi kesempatan.Umat paroki ini umumnya pendatang pada tahun lima puluhan terjadi gelombang perpindahan dari Tapanuli Utara ke Sumatera Timur. Mereka tergiur oleh “Tanah Harapan “ yang menjanjikan. Tanah yang subur, luas. Masih banyak yang kosong. Harganya murah, jika harus membeli, ini sebagai factor pendorong utama disamping kerasnya tantangan hidup dibona pasogit (kampong halaman), karena tanahnya kerdil, tandus dan musim kemarau panjang.Mereka yang pindah pada awal tahun lima puluhan biasanya mendapat tanah yang subur dan strategis karena mereka terbiasa digembleng penderitaan, banyak diantar mereka menjadi petani yang berhasil. Pemerintah turut juga membantu proyek irigasi, sehingga banyak umat kita yang berhasi. Namun disamping berhasil masih banyak juga yang kurang beruntung karena banjir bila musim hujan dan kering pada musim kemarau, karena sawah mereka sawah tadah hujan. Mereka yang belakangan pindah ke “tanah harapan”. Umumnya umat kita adalah petani. Disamping mengusahakan sawah ada juga menjadi pedagang kecil-kecilan, serta mengusahakan kebun secara kecil-kecilan misalnya kebun sawit dan karet. Selain petani ada juga Pegawai Negeri, perkebunan swasta. Umumnya tinggal di Kota.
Keberadaan Dewan Paroki
Awal mula terbentuknya Dewan Paroki
Sebelum ada dewan paroki sudah dibentuk dewan Gereja, tetapi dewan gereja ini belum berfungsi dengan baik seperti sekarang ini. Pada waktu itu dewan gereja bekerja hanya bersifat insidenril dan bila perlu dan pada umumnya pastor yang mengurus segala-galanya. Pada tahun 1985 struktur dewan gereja diganti menjadi dewan paroki dengan mempedomani Anggaran Dasar dari Keuskupan Malang karena dari Keuskupan Agung Medan belum mengeluarkan Anggaran Dasar seperti sekarang ini. Pada tanggal 11 April terbentuklah susunan Dewan Paroki sebagai berikut :
Ketua Umum : Pastor Yoseph Rajagukguk
Ketua I : L. Harianja
Ketua II : A. Panggabean
Sekretaris I : R. Perangin-angin
Sekretaris II : D.F. Nainggolan
Bendahara I : Sr. Friska Samosir
Bendahara II : P.F. Manik
Dilengkapi dengan seksi-seksi :
a. Seksi Wanita Katolik : Ny. S. Purba br Tompul, Ny. D.F. Nainggolan br Sembiring, Ny. A. Panggabean br Sembiring, Ny. L. Harianja br Sitinjak, dan Ny. Vincent br Purba. Seksi ini cukup aktif terutama dibidang koor dan kuis pada pesta Kristus Raja setiap tahunnya, karena sebelum terbentuk Dewan Paroki mereka ini beberapa kali mengadakan festival koordan kuis pada pesta Kristus Raja. Disamping ini juga mereka aktif turun ke stasi mengaktifkan masak-memasak dan memberikan bimbingan tentang kesehatan ibu dan anak.
b. Seksi Mudika : Kornel Sihaloho dkk. Begitu aktif untuk membina para Mudika.
Kelompok Kategorial
Untuk lebih memudahkan pembinaan dan supaya mencapai sasaran maka pada stasi-stasi, terutama yang jumlah umatnya cukup banyak berdiri kelompok kategorial, seperti :
a. Asmika
Anak sekolah minggu katolik, merupakan kumpulan anak-anak yang belum bersekolah atau sampai kelas IV SD. Asmika ada disemua stasi, dan dibina oleh guru sekolah minggu.
b. Areka
Anak remaja Katolik, merupakan kumpulan anak-anak yang sudah Komunio Pertama . Areka terutama di Tebingtinggi dan jumlahnya cukup besar lebih kurang 180 orang. Kelompok ini membutuhkan pembinaan dan berkesinambungan.
c. Mudika
Muda-mudi Katolik seperti namanya kelompok ini terdiri dari orang-orang muda. Kelompok ini juga hanya aktif dibeberapa stasi, terutama yang jumlah umatnya cukup banyak.
d. P I K
Punguan Ina Katoik. Kelompok ini umumnya ada disetiap stasi. Kelompok ini cukup rajin berkumpul terutama latihan koor. Di kota Tebingtinggi, kelompok ini membentuk kumpulan yang disebut “St. Lidwina”. Mereka berkumpul terutama latihan koor dan juga membicarakan segala kepentingan yang menyangkut kelompok tersebut dalam hal gerejani.
e. WKRI
Wanita Katolik Republik Indonesia. Ada di Kota Tebingtinggi dan merupakan salah satu cabang WKRI Sumatera Utara. Organisasi ini cukup rajin berkumpul, terutama pada hari minggu sehabis Misa dan pada hari Jumat sore.
f. Perkumpulan Doa St. Theresia
Perkumpulan ini beranggotakan suku Karo atau salah satu dari keluarga berasal dari suku Karo yang beragama Katolik. Kelompok ini ada di Kota Tebingtinggi dan sekitarnya. Bertujuan untuk menghimpun suku Karo dan bergerak dalam bidang keagamaan dan social sesama anggota.
g. Perkumpulan Doa St. Sisilia
Kelompok ini beranggotakan orang tionghoa yang beragama Katolik. Kelompok ini ada di Kota Tebingtinggi dan sangat perlu dibina dan disemangati.
Program Kerja
Ada kesan bahwa lain pastor, lain pula minat atau bidang pelayanan yang secara khusus ditekuninya. Dapat dipastikan bahwa seorang pastor tidak selamanya berada di suatu Paroki. Akibatnya bisa saja suatu program kerja belum selesai, tapi sudah diganti dengan program kerja yang lain.
Untuk menghindari hal tersebut maka paroki Tebingtinggi membuat program kerja tahunan. Program ini merupakan program induk di Paroki Tebingtinggi, artinya hrus dijabarkan oleh masing-masing rayon atau stasi.
Apabila terjadi perpindahan Pastor Paroki sebagai pastor kepala atau Ketua Umum Dewan Paroki, maka Program ini ikut diserah terimakan sehingga kelanjutan program dapat berlangsung.
Seksi-seksi Dewan Paroki yang diadakan/diaktifkan mengacu kepada komisi yang ada di Keuskupan Agung Medan dan kebutuhan umat Paroki Tebingtinggi. Beberapa priode kepengurusan Dewan Paroki, seksi yang diaktifkan adalah :
a. Seksi Pembangunan & Keuangan
Seksi ini bertugas menyusun rencana anggaran pendapatan dan belanja Paroki setiap tahun, untuk disahkan pada siding paripurna. Seksi-seksi menyusun programnya harus disesuaikan dengan dana yang tersedia. Sering terjadi program seksi yang merasa perlu terpaksa ditunda karena kekurangan dana. Perlu diketahui beberapa tahun terakhir Paroki Tebingtinggi tidak mendapatkan tambahan kas dari KAM. Seksi ini jugamemantau pemasukan iuran Paroki, menangani perbaikan renovasi atau pembangunan gereja baru di wilayah Paroki Tebingtinggi.
b. Seksi Kerohanian
Seksi ini merupakan penggabungan dari seksi Liturgi dan Katekese. Seksi ini menangani kursus-kursus seperti : Kursus dasar Katekese, Kursus Kotbah, Kursus Pengertian Gereja, Kursus Pasutri (sekali sebulan), kursus kitab suci dan lain-lain.
c. Seksi Asmika
Seksi ini menangani kegiatan asmika dan pembinaan guru-guru agama. Paroki mengadakan “Aksi Adven” setiap tahun, dan dana yang dikumpulkan 59 % diserahkan kepada guru agama, guru asmika dalam bentuk “Paket Natal” dan 50 % lagi untuk kegiatan Rayon dan stasi.
d. Seksi Mudika
Seksi ini sebagai coordinator kegiatan Mudika separoki biasanya setiap tahun diadakan pertemuan Mudika Paroki.
e. Seksi Wanita
Seksi ini menangani kegiatan ibu-ibu seperti pestifal koor ibu-ibu se Paroki atau koor gabungan.
F Seksi Sosial Ekonomi
Seksi ini menangani proyek-proyek sosial Paroki. Dibawah bimbingan P. Fideli Sihotang OFM.Cap. sebagai Ketua Seksi, seksi ini giat membentuk kelompok Basis Gereja (KBG). Seksi ini juga memberikan dana kepada orang-orang yang tidak mampu.
g. Seksi Pendidikan
Seksi ini pada dasarnya menangani/mengurus pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah no Katolik yang memungkinkan. Pada tahun pelajaran 2000-2001 ada 12 SD Negeri, 3 SMP Negeri dan 2 SMU Negeri. Tenaga pengajar direkrut dari guru-guru yang beragama Katolik dan diadakan pembekalan di Paroki. Dana untuk seksi ini diambil 5 % dari iuran Paroki. Setelah penghentian dana dari KAM maka dana ini masih kurang.
Susunan Pengurus Gereja Paroki St, Joseph Tebingtinggi Priode 1999-2002
Dewan Paroki adalah Badan di tingkat Paroki dimana para wakil umat beriman bersama dengan Pastor Paroki memikirkan, merencanakan, ,memutuskan, melaksankan, dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan apa saja yang perlu dan bermanfaat untuk kehidupan dan karya Paroki khususnya agar umat beriman semakin menghayati dan mengamalkan imannya di dalam masyarakat sebagai pengambilbagian dalam perutusan Kristus. Kepengurusan dan keanggotaan Dewan Paroki terdiri dari :
1. Dewan Paroki Harian
Terdiri dari Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara dan dua anggota. Dewan Paroki harian bertemu rapat secara rutin sekali sebulan, dan kalau dianggap perlu lebih dari satu kali untuk membicarakan segala sesuatu tentang kegiatan/program paroki. Pertemuan juga membicarakan laporan keuangan (bulanan) dan melapoorkan kepada pihak Keuskupan.
2. Dewan Paroki Presidium
Terdiri dari Dewan Paroki Harian ketua seksi-seksi, Pengurus Rayon dan Wakil Lembaga Hidup Bakti. Dewan Paroki Presidium bertemu minimal dua kali dalam setahun. Dewan Paroki Presidium bertugas :
- Menyusun rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan usul dan kebutuhan rayon/seksi.
- Melaksanakan rencana kerja yang telah disahkan oleh Dewan Paripurna.
- Mempertanggung jawabkan pelaksanaan rencana kerja terhadap semua instansi terkait.
- Melaporkan pelaksanaan kerjanya kepada Dewan Paroki Paripurna.
Sidang Presidium pertama lebih ditekankan kepada evaluasi program dan upaya yang harus ditempuh untuk keberhasilan program, sedang presidium ke dua lebih ditekankan kepada evaluasi dan penyusunan program baru.
3. Dewan Paroki Paripurna
Terdiri dari Dewan PAroki Harian, Dewan Presidium, Ketua Stasi, Utusan Organisasi, Utusan Karya Pendidikan, dan Pengembangan Sosial Ekonomi, serta tokoh umat. Dewan Paripurna hanya sekali bersidang dalam setahun. Dewan Paroki Paripurna bertugas untuk :
- Menerima, menanggapi dan mengevaluasi lapoan dan pertanggung jawaban pengurus Dewan Paroki Harian dan Presidium.
- Menilai, melengkapi, memperbaiki, dan mengesahkan rencana kerja Dewan Paroki Presidium.
- Memilih dan menetapkan susunan Pengurus Harian dan Dewan Paroki Presidium.
Secara lebih khusus pada siding paripurna diadakan penyerahan rencana pendapatan dan anggaran belanja Paroki setiap tahun.
Berikut ini kami tampilkan susunan Pengurus Dewan Paroki dari masa ke masa:
1. Pengurus Dewan Paroki tahun 1985
(LIHAT)2. Pengurus Dewan Paroki periode 1995-1998
(LIHAT)3. Pengurus Dewan Pastoral Paroki periode 1999-2002
(LIHAT)4. Pengurus Dewan Pastoral Paroki periode 2005-2008
(LIHAT) 5. Pengurus Dewan Pastoral Paroki periode 2009-2012
(LIHAT)6. Pengurus Dewan Pastoral Paroki periode 2012-2017
(LIHAT)
PROFIL PAROKI
|
|
|
Keuskupan (Agung)
|
:
|
MEDAN
|
Kevikepan/Dekenat
|
:
|
ST. PETRUS
RASUL KATEDRAL
|
Nama Paroki
|
:
|
ST. JOSEPH
TEBING TINGGI
|
Alamat Paroki
|
:
|
JL.
PAHLAWAN NO. 13
|
Kelurahan/Desa
|
:
|
RAMBUNG
|
Kecamatan/Distrik
|
:
|
TEBING
TINGGI KOTA
|
Kota/Kabupaten
|
:
|
TEBING
TINGGI
|
Kode Pos
|
:
|
20633
|
Kotak Pos/PO Box
|
:
|
|
Propinsi
|
:
|
SUMATERA
UTARA
|
Telepon
|
:
|
0621 –
21396
|
Faksimili
|
:
|
|
Email
|
:
|
stjosephtebingtinggi@gmail.com
|
Website
|
:
|
parokitebingtinggi.blogspot.com
|
Th. Berdiri*
|
:
|
1951
|
Paroki Asal/Paroki Induk
|
:
|
KATEDRAL
MEDAN
|
Paroki Administratif (jika
relevan)
|
:
|
|
Jumlah Stasi (jika
relevan)
|
:
|
26
|
Jumlah Wilayah
|
:
|
9
|
Jumlah
Lingkungan/Kring
|
:
|
20
|
Kode
|
RAYON/STASI
|
Tahun
|
KK
|
Babtizati
|
Katekumen
|
Berdiri
|
2019
|
|
|
|
|
|
|
Rayon St. Matias Rasul Bah
Tonang
|
150
|
668
|
|
102
|
St. Petrus Bah Tonang
|
1956
|
91
|
413
|
|
103
|
St. Petrus Gunung Pamela
|
|
23
|
89
|
|
104
|
St. Maria Nagaraja Rimbun
|
1968
|
36
|
166
|
|
Rayon St. Tadeus Rasul Bandar
Pamah
|
110
|
447
|
|
202
|
St. Petrus Bandar Pamah
|
1963
|
36
|
138
|
|
203
|
St. Maria Batu Hobot
|
|
31
|
137
|
|
204
|
St. Maria Buho
|
1966
|
24
|
85
|
|
205
|
St. Petrus Paulus Kampung Toba
|
|
19
|
87
|
|
Rayon St. Matius Rasul Kampung
Jati
|
285
|
1134
|
|
301
|
St. Yohanes Bakaran Batu
|
1960
|
29
|
118
|
|
302
|
St. Monika Bandar Bejambu
|
1957
|
16
|
60
|
|
303
|
St. Antonius Bangun Bandar
|
1986
|
23
|
102
|
|
304
|
St. Maria Blok Sepuluh
|
1974
|
59
|
218
|
|
305
|
St. Stefanus Kampung Jati
|
1959
|
39
|
148
|
|
306
|
St. Yosef Desa Dame/Kbn Kopi
|
1954
|
15
|
65
|
|
307
|
St. Mikael Pertapaan
|
1953
|
35
|
153
|
|
308
|
St. Petrus Silau Bawang
|
1953
|
20
|
88
|
|
309
|
St. Paulus Sukaramai
|
1954
|
49
|
182
|
|
Rayon St. Petrus Rasul Kampung
Juhar
|
285
|
1272
|
|
401
|
St. Fransiskus Kampung Juhar
|
1956
|
185
|
823
|
|
402
|
St. Mikael Kayu Besar
|
1958
|
28
|
122
|
|
403
|
St. Maria Sidomulio
|
1967
|
15
|
72
|
|
404
|
St. Theresia Pagurawan
|
1957
|
57
|
255
|
|
Rayon St. Andreas Rasul Mangga
Dua
|
390
|
1619
|
|
501
|
St. Petrus Mangga Dua
|
1958
|
72
|
269
|
|
502
|
St. Maria Hutabagasan
|
1957
|
55
|
243
|
|
503
|
St. Paulus Kampung Manggis
|
1958
|
132
|
599
|
|
504
|
St. Ignatius Penggalangan
|
1955
|
67
|
276
|
|
505
|
St. Maria Toba I
|
|
27
|
113
|
|
506
|
St. Petrus Sei Periuk
|
1956
|
37
|
119
|
|
Rayon St. Helena Tebing Tinggi
|
170
|
691
|
|
|
St. Aleksander Payakapar
|
|
34
|
145
|
|
|
St. Antonius Bulian
|
|
26
|
109
|
|
|
St. Clara Jl. Lama
|
|
29
|
132
|
|
|
St. Fransiskus Xaverius Medan C
|
|
46
|
178
|
|
|
St. Skolastika Medan AB
|
|
35
|
127
|
|
Rayon St. Agustinus Tebing
Tinggi
|
133
|
491
|
|
|
St. Lukas Segitiga
|
|
30
|
132
|
|
|
St. Matius Bandarsono
|
|
27
|
84
|
|
|
St. Mikael Bagelen
|
|
23
|
84
|
|
|
St. Paulus Rambung
|
|
26
|
98
|
|
|
St. Rafael Tebing Tinggi Lama
|
|
27
|
93
|
|
Rayon Beato Theodorus Tebing
Tinggi
|
116
|
490
|
|
|
St. Dominikus Pabatu
|
|
9
|
34
|
|
|
St. Fransiskus Asisi Siantar B
|
|
38
|
165
|
|
|
St. Petrus kampung Bicara
|
|
28
|
117
|
|
|
St. Tarcisius Siantar A
|
|
41
|
174
|
|
Rayon St. Odilia
|
166
|
644
|
|
|
St. Agatha
|
|
34
|
135
|
|
|
St. Elisabeth Kampung Kelapa
|
|
33
|
132
|
|
|
St. Lucia Asrama Baru
|
|
35
|
121
|
|
|
St. Yohanes da Cruce
|
|
21
|
82
|
|
|
St. Yohanes Don Bosco Tunas
Mekar
|
|
24
|
103
|
|
|
St. Yohanes Paulus II
|
|
19
|
71
|
|
|
JUMLAH TOTAL
|
|
1.805
|
7.456
|
|
0 Comments