Lima tahun sesudah Indonesia merdeka datanglah anak perantau (orang tua kita) dari Tapanuli Utara yaitu dari Porsea. Rombongan pertama adalah Op. Saroha Manurung dkk, yang masih beragama protestan (HKBP) dan langsung bertempat tinggal di Dusun Malasori. pada tahun 1951 beliau-beliau ini langsung mendirikan Gereja HKBP Malasori.
pada tahun 1952 menyusul rombongan kedua dari Pulau Samosir yaitu Bpk. J. Pandiangan (alm) dkk. kebetulan ada yang beragama Katolik dari stasi lobutua palipi. dan rombongan ini tinggal di dusun III Kp. Samosir Desa Malasori, yang membuat nama kampungnya khas dari daerah asalnya. lalu umat yang beragama katolik bergabung ke stasi sei putih.
Pada bulan Oktober 1959, ada yang menikah umat HKBP marga Silaen dengan br Samosir (Katolik). saat pesta tersebut pengurus gereja HKBP meminta kepada tuan rumah pesta agar didirikan satu rumah tempat khusus pangula ni huria HKBP Malasori. tokoh adat tidak terima atas permintaan pangula ni huria maka timbullah niat beberapa tokoh adat untuk memisahkan diri dari HKBP.
Pada tahun 1960, datanglah rombongan Op. Saroha Manurung dkk menghubungi J. Pandiangan di dusun II Kp Samosir, mengingat jauhnya gereja katolik sei putih, maka Bapak J. Pandiangan menerima tawaran tersebut untuk mendirikan stasi di desa Malasori Dusun I Bakaran Batu.
Dengan hasil musyawarah, ada seorang yang menghibahkan tapak dibelakang rumahnya yaitu Bpk. A. Rusmeri Manurung. maka dibentuklah beberapa tim, ada tim yang mengumpulkan beras 1 tumba (1 1/5 kg per KK, ada juga tim untuk mencari kayu ke hutan utnutk tiang khusus, ada juga tim yang mencari alang-alang untuk dianyam dan dijadikan atap. selanjutnya ada juga bapak-bapak yang jual beras untuk beli paku dan juga melapor ke paroki tebing tinggi. Saat awal didirikan, gereja stasi bakaran batu berukuran 6 x 9 m, dengan tiang kayu bulat dan atap ilalang dan dinding dari kulit kayu, kala itu jumlah umat adalah 45 KK.
Gereja Katolik Stasi Santo Yohanes Bakaran Batu, berkedudukan di Dusun III Desa Malasori Kec. Dolok Masihul Kab. Serdang Bedagei . Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 1964, atas gotong royong umat, dapat membeli tapak tanah kurang lebih 3 rante tepat dibelakang rumah Marga Siregar, lalu mendirikan gedung gereja di area tanah dengan luas 3 rante dengan ukuran bangunan 7x9 m, setengah batu, setangah papan, atap seng dan menara setinggi 8 meter, lengkap dengan lonceng. Saat itu jumlah KK ada 20 KK. karena ketatnya peraturan gereja katolik, banyak yang pindah lagi ke HKBP.Pada tahun itu, berhimpun keluarga dengan jumlah 40 kepala keluarga. Semua keluarga berpartisipasi dalam pembangunan gedung gereja tersebut, kerapkali mengadakan gotong royong bersama. Bangunan gereja kala itu semi permanen. P. Nico Dyonisius schoenmakers. OFMCap ( 1960-1966), bertugas di paroki santo joseph tebing tinggi. Beberapa tokoh awal hingga kini Gereja stasi st. Yohanes bakaran batu; Op. Pandiangan, OP. Saroha manurung, Luhut manurung, Robert manurung, Sahata Situmorang, Tambos mandakdak, Jongar manurung (pada akhirnya pindah gereja), Amir situmorang, Sait saragih, Jasmen Sinaga, Apontus pandiangan.
Pada tahun 2001, dilaksankan rapat pemugaran gereja, karena kondisi gereja yang sudah lapuk dimakan usia. lalu pastor paroki saat itu, Pst. Warhadi, OSC menyarankan supaya gereja dipindah, tidak baik gereja di belakang rumah orang. maka oada tanggal 3 Juli 2002, dibelilah tapak gereja yang barui dengan luas 712,5 m2. kondisi awal tanah yang baru dibeli masih berupa ladang yang banyak ditumbuhi pohon bambu dan semak belukar, lalu umat bergotong royong membersihkan lahan.
Pada awal tahun 2003, dibangunlah gereja stasi bakaran batu yang sekarang, tepatnya dipinggir wakaf kristen, dengan luas bangunan 8 x 12 m, terbuat dari batu bata, atap seng, menara tinggi 10 m
Adapun Ketua Stasi St. Yohanes Bakaran Batu dari masa ke masa sebagai berikut:
1. J. Pandiangan (Op. Pernando Pandianagn doli)
2. A. Situmorang (Op. Sahata Situmorang doli)
3. S. Simarmata (A. Horasi Simarmata)
4. Pjs N. Simbolon (Nai Erwan br Simbolon)
5. Djesmen Sinaga (Op. Oskar Sinaga)
6. Alponsus Pandiangan (Op. Melati Pandiangan)
7. Ronal Situmorang
Pada tahun 2017, stasi st. Yohanes terdiri dari 30 kepala keluarga dengan 140 jiwa. Pada tahun tahun awal pendirian Gereja stasi st. Yohanes tergolong banyak hingga mencapai 40 KK, tetapi dalam kurun waktu 50an tahun jumlah keluarga berkurang karena ada yang pindah Gereja, ada yang pergi merantau, sehingga keluarga katolik dan jumlah jiwa semakin lama semakin berkurang. Salah satu kebiasaan yang berkembang ditempat ini ialah saling membantu ketika ada kemalangan, atau ketika ada pertemuan pertemuan adat selalu saling menolong. Mayoritas , umat katolik berkerja di ladang, kebun sebagai petani. Relasi harmonis dengan Gereja tetangga tercipta sangat baik. Bahasa sehari-hari yaitu bahasa batak toba, bahasa batak simalungun, bahasa indonesia. Harapan kedepan dari stasi st. Yohanes semoga orang muda semakin menyadari peranannya dalam hidup menggereja, serta pembinaan iman terus menerus dilakukan melalui model katekese kontekstual.
Wawancara dengan bapak Alponsus Pandiangan Maret 2011



0 Comments